Oleh : Ust. Abulwafa Romli
(sambungan)Keempat: Klaim tertutupnya pintu ijtihad pasca empat imam yang dipelopori oleh al-Qaffal.
Sesungguhnya kalaupun klaim al-Qafal itu benar, maka yang dikehendaki adalah mujtahid mutlak ghairu muntasib atau mujtahid mutlak mustaqil, bukan mujtahid mutlak muntasib atau mujtahid mutlak nisbi, karena setiap mujtahid pasca empat imam itu tidak mandiri (mustaqil) keculai dengan memakai kaidah-kaidah istinbatnya empat imam. Atau karena mujtahid mutlak ghairu muntasib itu tidak memiliki fakta rasional, sebab empat imam yang disebut-sebut sebagai mujtahid mutlak ghairu muntasib, semuanya itu memiliki sejumlah guru sebagaimana telah saya tuturkan di atas, dan telah mengambil ilmunya dari guru-gurunya itu. Jadi sulit diterima oleh akal, ketika empat imam itu tidak terpengaruh oleh ilmu dari guru-gurunya, termasuk ilmu terkait kaidah-kaidah istinbath.
Sedangkan wujudnya mujtahid mutlak, seperti halnya empat imam, pada setiap masa itu bukan hal mustahil, karena Tuhan yang telah menciptakan mujtahid mutlak pada tiga kurun pertama (sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in) adalah Tuhan yang sama, yaitu Alloh SWT. Dan Dia-lah yang telah menciptakan mujtahid mutlak seperti halnya empat imam dan menolong mereka sehingga menjadi mujtahid mutlak. Sedangkan menciptakan mujtahid mutlak pada setiap masa seperti halnya empat imam adalah bukan hal mustahil bagi Alloh SWT, karena Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.
Bahkan klaim tertutupnya pintu ijtihad mutlak adalah termasuk buruk sangka kepada Alloh, karena Alloh yang kuasa mewujudkan mujtahid mutlak seperti Imam Syafi’iy serta menolongnya adalah kuasa untuk mewujudkan mujtahid seperti Imam Syafi’iy pada masa yang berjauhan sebelum menjelang datangnya kiamat, bahkan kuasa untuk mewujudkan mujtahid yang lebih alim dari Imam Syafi’iy. Dan termasuk buruk sangka kepada kaum muslim, dengan menganggap mereka bodoh semua seperti dirinya, sehingga tidak mungkin atau mustahil bisa berijtihad seperti empat imam. Ini dari sisi dalil aqli. Sedangkan dari sisi dalil naqli, maka Rasulullah SAW benar-benar bersabda:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَّةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا.
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad, dengan perhitungan tahun hijriyah) orang yang akan memperbaharui agamanya”. HR Abu Duad, Hakim, dan Baihaqi dari Abu Hurairoh
Karena makna memperbaharui agama adalah mengembalikannya sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasululloh SAW dan sebagaimana pada masa sahabat, atau menyeleksi Sunnah dan menetapkan hukum-hukum syara’ sehingga bersih dari berbagai bid’ah, tahayul dan khurofat. Hal ini tidak mudah, kecuali dengan ijtihad. Maka orang yang memperbaharui perkara agama adalah mujtahid, yaitu orang yang mengerti dengan al-Kitab, Sunnah, Ijmak sahabat dan Qiyas syar’iy, dimana semuanya adalah dalil-dalil syara’ yang disepakati. Dan Nabi SAW bersabda:
لا تزال طائفة من أمتي قوامة على أمر الله لا يضرها من خالفها.
“Dan sesungguhnya Rasululloh SAW bersabda: “Sekelompok dari umatku tidak henti-hentinya menegakkan perintah Alloh, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyalahinya”. HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Dan bersabda:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى يأتي أمر الله. رواه الشيخان وفى رواية الحاكم عن عمر حتى تقوم الساعة.
“Sekelompok dari umatku tidak henti-hentinya menolong hak hingga datang perkara Alloh (kiamat)”. HR Bukhari dan Muslim, dan dalam riwayat Hakim dari Umar; “Sampai datang kiamat”.
Menegakkan perintah Alloh, yakni syariat-Nya, dan menjelaskan serta memenangkan hak itu tidak mudah, kecuali bagi orang yang mampu membedakan dan memisahkan antara hukum-hukum syariat dan antara berbagai bid’ah dan khurafat, juga mampu membedakan dan memisahkan antara hak dan batil. Dan kedua pembeda serta pemisah tersebut tidak mudah, kecuali dengan ijtihad. Maka ini, juga penuturan sebelumnya, adalah bukti dan dalil atas tetapnya mujtahid atau terbukanya pintu ijtihad sampai menjelang datangnya kiamat. Dan dalam hal ini Rasululloh SAW bersabda:
إن بين يدي الساعة أياماً يرفع فيها العلم ويترك فيها الجهل. رواه مسلم.
“Sesungguhnya menjelang kiamat masih ada beberapa hari dimana ketika itu ilmu diangkat dan kebodohan dibiarkan”. HR Muslim. Dan beliau SAW bersabda:
إن من أشراط الساعة أن يرفع العلم ويثبت الحهل. رواه البخاري.
“Sessungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya kiamat adalah ketika ilmu diangkat dan kebodohan dibiarkan”. HR Bukhari.
Mengangkat ilmu itu dengan mengambil (mematikan) para ulama, sebagaimana Rasululloh SAW bersabda:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعاً ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يُبقِ عالما اتخذ الناس رؤساء جهلاء فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. رواه البخاري.
“Sesungguhnya Alloh SWT tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba-Nya, tetapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga ketika Alloh tidak menyisakan lagi seorang ulama, maka manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu ketika para pemimpin itu ditanya, maka mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan menyesatkan”. HR Bukhari.
Hadis ini menunjukkan atas kekosongan zaman dari mujtahid, karena mujtahid adalah ulama yang faqih terhadap urusan agama. Dan kekosongan ini tidak terjadi, kecuali menjelang datangnya kiamat, yaitu dengan nampaknya sejumlah alamat kubro (tanda-tanda besar) bagi kiamat, yaitu setelah wafatnya nabi Isa AS, tidak setelah empat imam, dan tidak pula masa sekarang, karena sampai saat ini masih banyak dan tidak terhitung para ulama yang keulamaannya tersembunyi atau tidak diakui karena banyaknya fitnah dari para ulama su-u (ulama salathin) yang pro pemerintah yang nyata-nyata kafir, zalim atau fasik, karena tidak menerapkan hukum-hukum Alloh dalam pemerintahannya.
Kelima: Daftar kitab-kitab karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani.
Di bawah adalah karya-karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang sangat cemerlang:
- Nizham al-Islam (sistem Islam)
- Al-Takattul al-Hizbi (pembentukan partai politik)
- Mafahimu Hizb al-Tahrir (konsepsi Hizbut Tahrir)
- Al-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam (sistem ekonomi Islam)
- Al-Nizham al-Ijtima’iy fi al-Islam (sistem pergaulan Islam)
- Nizham al-Hukmi fi al-Islam (sistem pemerintahan Islam)
- Al-Dustur (undang-undang dasar)
- Muqaddimah al-Dustur (pengantar undang-undang dasar)
- Al-Daulah al-Islamiyyah (negara Islam)
11. Mafahim Siyasiyyah li Hizb al-Tahrir (konsepsi politik Hizbut Tahrir)
12. Nazharat siyasiyyah (pandangan politik)
13. Nidaun Haar (panggilan hangat)
14. Al-Khilafah (khilafah)
15. Al-Tafkir (metode berpikir)
16. Al-Kurrasah (buku catatan)
17. Sur’atul Badihah (secepat kilat)
18. Nuqthatul Inthilaq (titik permulaan)
19. Dukhulul Mujtama’ (memasuki masyarakat)
20. Inqazhu Falesthin (menyelamatkan Palestina)
21. Risalatu ‘Arab (risalah Arab)
22. Tasalluhu Mishra ( mempersenjatai Mesir)
23. Al-Ittifaqiyat al-Tsunaiyyah al-Mishriyyah al-Suriyyah wa al-Yamaniyyah
24. Hallu Qadhiyyati Falesthina ‘ala Thariqati al-Amriqiyyah wa al-Inkiliziyyah
25. Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (politik ekonomi ideal)
26. Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah (bantahan terhadap sosialisme marxisme)
27. Kaifa Hudhimat al-Khilafah (bagaimana khilafah dihancurkan)
28. Nizham al-‘Uqubat (sistem persanksian)
29. Ahkam al-Bayyinat (hukum pembuktian)
30. Ahkam al-Shalat (hukum-hukum shalat)
31. Naqdh al-Qanun al-Madani (bantahan terhadap undang-undang sipil)
32. Al-Fikru al-Islami (pemikiran Islam), dll.
Dan untuk mempermudah penyebarannya kitab Kaifa Hudhimat al-Khilafah, Nizham al-‘Uqubat, Ahkam al-Bayyinat, Ahkam al-Shalat, al-Fikru al-Islami Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah, dan Naqdhu al-Qanun al-Madani, ditulis atas nama syabab Hizbut Tahrir. Dan masih ada ribuan nasyrah pemikiran, politik dan ekonomi yang telah ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani RH. (Lihat: Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulati al-Khilafati al-Islamiyyati, dgn pengawasan Prof. Dr. Walid Ghafuri al-Badri, hal. 28, Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahtsi al-Ilmi al-Jami’ah al-Islamiyyah / Kulliyyah Ushuluddin, Oktober 2006).
Daftar kitab-kitab karya Syaiklh Taqiyyuddin an-Nabhani di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa beliau adalah mujtahid mutlak, dan karya-karya tersebut juga sudah cukup untuk menjadi rujukan sebuah madzhab fikih. Sedang terkait mujtahid mutlak ghairu muntasib atau mujtahid mutlak muntasib, maka hanya Alloh dan beliau yang mengerti, karena beliau tidak menjelaskan bahwa kaidah-kaidah istinbathnya itu hasil istinbathnya sendiri atau hasil tabanni dari guru-gurunya. Sebagaimana empat imam besar juga yang disebut-sebut sebagai mujtahid mutlak tidak menjelaskannya.
Keenam: Terkait pernyataan M Idrus Ramli:
“Seorang alim bisa dikatagorikan sebagai mujtahid apabila telah diakui oleh para ulama dan telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Sementara tidak seorangpun dari kalangan ulama yang mengakui Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah memenuhi syarat-syarat ijtihad sebagai mujtahid atau bahkan hanya mendekati saja derajat seorang mujtahid tidak ada yang mengakui. Sehingga ketika keilmuan seseorang tidak diakui oleh para ulama, maka keilmuannya sama dengan tidak ada. Dan ini berarti Syaikh al-Nabhani bukanlah seorang mujtahid atau mendekatinya”. (Lihat; Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 111-116).
M Idrus Ramli sebagaimana Syaikh Abdullah Harori dalam kitab al-Gharah-nya, dalam pernyataannya sama sekali tidak menjelaskan kriteria ulama yang pengakuan atau kesaksiannya terhadap seseorang sehingga bisa disebut sebagai mujtahid dapat diterima, juga berapa jumlah ulama tersebut. Sedang yang dapat ditangkap dari pernyataan itu hanyalah buruk sangka yang berlebihan terhadap Syaikh Taqiyyuddin. Kalau yang dimaksud oleh Idrus Ramli adalah para ulama seperti al-Hafizh al-Dzahabi serta para ulama sebelum dan sesudahnya yang telah wafat sebelum lahirnya Syaikh Taqiyyuddin, maka betapa bodohnya Idrus Ramli, karena bagaimana mungkin para ulama yang telah wafat bersaksi bahwa Syaikh Taqiyyuddin adalah Mujtahid.
Kalau yang dimaksud adalah para ulama salathin seperti Abdullah al-Harori al-Ahbasy dan sesamanya atau seperti ulama wahabi yang kontra Hizbut Tahrir, maka juga sangat keliru, karena aktivitas Syaikh Taqiyyuddin yang selalu mengkritik dan mengkoreksi pemerintahan (salathin) yang zalim itu menjadi pemicu bagi kemarahan mereka, sehingga mereka berani membayar para ulama salathin untuk menjatuhkan kewibawaan serta merusak nama baik Syaikh Taqiyyuddin, maka mengharap pengakuan dan kesaksian atas kemujtahidan Syaikh Taqiyyuddin dari mereka, itu sama halnya dengan mengharap anak sapi keluar dari batu.
Kalau yang dimaksud adalah para ulama yang saleh yang semasa dengan Syaikh Taqiyyuddin, maka Idrus Ramli juga sangat keliru, karena di antara mereka tidak sedikit yang belum membaca kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin yang sangat cemerlang dan penuh dengan solusi kebangkitan dan kejayaan Islam dan kaum muslim, dan tidak sedikit pula yang telah termakan oleh fitnah terhadap Syaikh Taqiyyuddin dari ulama salathin. Dan kalau yang dimaksud adalah para ulama saleh yang belum termakan fitnah yang semasa dengan Syaikh Taqiyyuddin dan yang setelahnya, maka Idrus Ramli juga sangat keliru, karena ash-hab Syaikh Taqiyyuddin dan mayoritas aktivis Hizbut Tahrir dari berbagai belahan dunia yang jumlahnya ribuan adalah para ulama yang saleh dan mukhlish, dan mereka telah mengakui dan menyaksikan bahwa Syaikh Taqiyyuddin adalah mujtahid, bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa beliau adalah mujtahid mutlak, bahkan sebagai mujaddid (pembaharu). Di antara pengakuan dan kesaksian mereka adalah sebagai berikut:
Muhammad Muhsin Radhi dalam tesisnya menyatakan:
“Derajat keilmuan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dapat dilihat dari sejumlah karya ilmiahnya yang tidak sedikit yang mencakup semua tuntutan kehidupan (pribadi, masyarakat dan negara) yang dibutuhkan oleh umat untuk mencapai kebangkitan serta mengembalikan derajat hakikinya (sebagai sebaik-baik umat) di antara umat-umat yang lain. Sungguh pada semua karya ilmiahnya telah nampak pembaharuan (tajdid) dalam lapangan pemikiran, fiqih dan politik. Oleh karena itu, produk pemikirannya adalah usaha terdepan dari seorang pemikir muslim pada masa ini. Sehingga beliau adalah pemimpin bagi para pemimpin pemikiran dan politik pada abad 20 ini, sehingga setelah itu tidak asing lagi kami menemukan orang-orang yang menjadikan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berada di barisan para ulama mujtahid dan mujaddid.
Ustadz Ghanim Abduh sebagai syabab qudama terkemuka Hizbut Tahrir menuturkan, bahwa Sayyid Quthub RH dalam kesempatan ilmiahnya pernah menyanjung Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dan membantah seseorang yang melempar tuduhan miring terhadap beliau. Dan di antara pernyataan Sayyid Quthub adalah: “Sesungguhnya Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani ini dengan karya-karya ilmiahnya telah sampai ke derajat para ulama terdahulu kami”.
Dan Prof. Dr. Muhammad bin Abdullah al-Mas’ari telah menyifati Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani seraya berkata: “Beliau adalah mujaddid abad ini, panutan ulama dunia, seorang alim yang berjihad, imam rabbani (orang yang telah mencapai derajat makrifat), Abu Ibrahim Taqiyyuddin al-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), yang telah meletakkan batu pondamen bagi pemikiran Islam kontemporer yang tinggi, dan bagi pergerakan yang ikhlas dan sadar, semoga Allah meninggikan derajatnya bersama anbiya’, shiddiqin, syuhada’ dan ulama shalihin”. (Lihat: Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulati al-Khilafati al-Islamiyyati, dgn pengawasan Prof. Dr. Walid Ghafuri al-Badri, hal. 33, Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahtsi al-Ilmi al-Jami’ah al-Islamiyyah / Kulliyyah Ushuluddin, Oktober 2006).
Jadi kalau kita mau jujur dan obyektif, semua kitab di atas dan yang lainnya sebagai karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, sudah cukup untuk menjadi saksi dan bukti konkrit bahwa beliau benar-benar seorang mujtahid dan mujaddid, karena semuanya langsung digali dari sumber syari’at Islam melalui dalil-dalil yang telah disepakati oleh semua ulama Ahlussunnah Waljama’ah ala Rasulullah SAW, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas al-Syar’iy, dan berdasarkan pemahaman terhadap fakta dan realita yang sangat mengkristal. Dan kalau kita mau jujur, obyektif dan tidak fanatik, kalau setandar mujtahid muthlaq adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad, maka karya-karya ilmiyyah yang dimiliki Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani itu melebihi dari karya-karya ilmiah salah satu dari empat imam besar tersebut, karena banyak karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani yang baru dan belum ada yang mendahului.
Maka daripada kita berdosa karena buruk sangka kepada Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, lebih baik kita meraih pahala dengan berbaik sangka kepada beliau, karena berbaik sangka kepada sesama muslim adalah karakter Ahlussunnah Waljama’ah, sedang berbaik sangka kepada orang kafir adalah karakter kaum liberal yang munafik. Kerena kita semua akan bertanggung jawab dihadapan Allah, sebagaimana Syaikh Taqiyyuddin juga akan bertanggung jawab dihadapan-Nya. Dan kita semua berharap bisa datang kepada Allah dengan hati yang selamat (bi qalbin salim).
Akhir Kalam:
Sesungguhnya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani tidak pernah mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak atau mujaddid. Akan tetapi justru karya ilmiah beliaulah yang membuktikan atau menunjukkan bahwa beliau layak mendapat gelar sebagai mujtahid mutlak atau mujaddid. Sedangkan kalau ada yang berkata bahwa beliau banyak menganjurkan ijtihad kepada ash-hab atau murid-muridnya, kalaupun ini benar, maka juga tidak ada yang salah selagi memenuhi syarat-syaratnya. Kerena empat imam besar juga telah melakukan hal yang sama terhadap ash-habnya. Dalam hal ini Imam Ahmad bin Hanbal ra berkata:
خذوا علمكم من حيث أخذه الأئمة ولا تقنعوا بالتقليد فإن ذلك عمي في البصيرة.
“Ambilah ilmu kalian dari mana para imam telah mengambil ilmunya, dan janganlah kalian merasa puas dengan taqlid, karena hal itu dapat membutakan mata hati”. (Lihat: Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, juz I, hal. 12, Maktabah Daaru Ihyaa’ al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia).
Dan Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni sendiri berkata:
وقد كان الأئمة المجتهدون كلهم يحثون أصحابهم على العمل بظاهر الكتاب والسنة ويقولون: إذا رأيتم كلامنا يخالف ظاهر الكتاب والسنة فاعملوا بالكتاب والسنة واضربوا بكلامنا الحائط…
“Sesungguhnya para imam mujtahid semuanya mendorong ash-habnya agar mengamalkan zhahir al-Kitab dan Sunnah, dan mereka sama berkata: “Ketika kalian mengetahui perkataan kami menyalahi zhahir al-Kitab dan Sunnah, maka amalkanlah zhahir al-Kitab dan Sunnah, dan hantamkan (buanglah) perkataan kami ke pagar…”.(Lihat: Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, juz I, hal. 55, Maktabah Daaru Ihyaa’ al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia).
Keberadaan mujathid mutlak di masa sekarang juga sangat dibutuhkan, karena berbagai bid’ah dan khurofat yang datang dan memancar dari akidah materialisme dan sekularisme, dan dari ideologi komunisme dan kapitalisme, telah memporak porandakan tatanan pemikiran, perasaan dan sistem yang datang dan memancar dari akidah Islam dan ideologi Islam.
Faktanya juga membuktikan, bahwa orang-orang atau kelompok yang menolak mujtahid mutlak yang datang pada masanya dan pada masa ini, mereka justru mengangkat orang-orang atau ulama liberal sebagai mujtahid dimana pendapatnya diambil dan ditaklidi untuk mengesahkan tatanan pemikiran, perasaan dan sistem yang datang dan memancar dari akidah materialisme dan sekularisme, dan dari ideologi komunisme dan kapitalisme.
Dengan demikian datangnya mujtahid mutlak pada setiap masa adalah hak dan keadilan Alloh SWT untuk menjaga kemurnian syariat-Nya, hingga menjelang datangnya kiamat. Wallohu A’lamu bi ash-Shawwab. (www.syariahpublications.com)
Sumber
www.bringislam.web.id
Tidak ada komentar
Posting Komentar