Comments

menyelipkan islam dalam proses edukasi, keereen yaa ?

Tidak ada komentar
Edukasi bisa menjadi uslub dakwah yang effisien, selama di situ pengemban dakwah bisa berperan sebagai sosok edukator yang bisa diandalkan oleh murid-muridnya.

Edukasi di sini tidak hanya yang berupa sekolah formal, tetapi bisa juga lembaga kursus, bimbingan belajar, atau bahkan suatu training singkat. Isi edukasinya sendiri boleh apa saja, bisa masih terkait dengan Islam praktis (seperti training mengurus jenazah, training perhitungan waris), tetapi bisa juga tentang "dunia" seperti mengetik cepat, bahasa asing, bahkan hingga training bisnis atau memasak. Intinya ada forum yang mendekatkan pengemban dakwah dengan orang.

Tantangannya biasanya tiga:
1. Bagaimana menyelipkan pesan Islam dalam edukasi itu.
2. Bagaimana membuatkan tindak lanjut (follow up) untuk alumninya.
3. Bagaimana menjaga keberlanjutan lembaga edukasi itu sendiri.

Tantangan pertama ini adalah inti dari uslub. Kalau sekedar mencari peserta, sebuah training yang populer (misal soal bisnis) atau training pendidikan (untuk guru yang masih mengejar sertifikat) biasanya kebanjiran peminat. Membayarpun mereka rela. Tetapi di sini kita memerlukan para pengemban dakwah yang kreatif, sehingga banyak hal bisa diselipkan baik di dalam contoh soal, kisah dari khazanah Islam, hingga hikmah islami yang didapat para praktisi. Misalnya ketika mengajar bahasa Inggris, kita bisa menyelipkan contoh percakapan orang di Luar Negeri ketika mencari Islamic Center, atau berdialog dengan calon muallaf. Kemudian kita bumbui dengan kisah para sahabat Nabi yang harus belajar empat bahasa asing secara estafet, agar dapat pergi ke Cina untuk merebut teknologi di sana demi kemajuan kaum muslim, dan itu terus berlangsung ketika Daulah Islam masih tegak. Kemudian juga disampaikan hikmah-hikmah yang pernah didengar ketika orang belajar bahasa apa saja.

Tindak lanjut biasanya kita tawarkan pada saat rehat. Tentu tidak semua peserta edukasi memiliki ghirah untuk mengkaji Islam lebih dalam, atau memiliki kesabaran yang dibutuhkan untuk menjadi calon pengemban dakwah. Namun kalau didapat satu dari tiap sepuluh orang saja, itu sudah bagus. Yang lebih afdhol adalah seluruh sekolah itu memang bisa didesain untuk ikut mencetak pengemban dakwah, sehingga ada sinkronisasi dengan kurikulum sekolah dan seluruh sistem sekolah. 


 Tetapi membuat sekolah yang seperti ini saat ini tidak mudah. Ada begitu banyak rambu yang dibuat pemerintah, yang tidak mudah dipenuhi. Kita mesti mencari guru atau dosen yang memenuhi standar baik dari sisi akreditasi pendidikan maupun dari sisi dakwah. Kalau orangnya ada, belum tentu dana untuk menggaji mereka juga ada !!! Kita harus mencari tempat edukasi yang dekat dengan konsumen dan harganya terjangkau. Kita harus mencari calon siswa atau mahasiswa yang sanggup membayar, sementara belum pasti nanti lembaga itu akan terakreditasi apa. Mungkin akan banyak juga yang mencari keringanan biaya. Jadi jauh lebih mudah menjadi tenaga edukasi cangkokan pada yang sudah mapan. Atau membuat lembaga training yang tidak terlalu ketat dalam soal akreditasi.

Yang jelas, mempertahankan eksistensi lembaga edukasi itu juga bukan perkara mudah. Bahkan trainingpun ada yang akhirnya hanya angin-anginan. Memang bila tujuannya hanya sekedar uslub dakwah, mungkin hal itu sudah tercapai. Tetapi lebih baik lagi kalau itu menjadi instrumen yang handal sebagai tempat rekrutmen kader. Jadi tiga tantangan ini memang saling terkait. (fahmi amhar)

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Category

Popular Posts

facebook